Kekerasan Pers Upaya Bungkam Kebebasan




Sen, Mei 7, 2007

Tajuk

Kebebasan pers di Indonesia baru seumur jagung namun upaya untuk membungkamnya tidak pernah berhenti. Itu terlihat dari banyaknya kasus kekerasan terhadap pers dan media massa, sehingga wajarlah kalau semua pihak terutama insan pers untuk meningkatkan kewaspadaannya dan berjuang agar kebebasan pers jangan sampai redup kembali seperti di masa Orde Baru.


Walaupun tidak ada pekerjaan atau profesi yang aman 100 persen dan menjadi wartawan memang penuh risiko, namun risiko itu harus dapat diminimalisir, sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap pers harusnya disikapi dengan kritis. Bagaimanapun juga wartawan tidak akan bisa memuaskan semua orang. Fungsi sosial kontrol yang disandang jurnalis membuat mereka harus berpihak kepada rakyat kecil, berpihak kepada yang benar. Yang dikritik biasanya kepanasan. Namun, karena wartawan adalah profesi yang sah sehingga keberadaannya wajib dilindungi. Kalaupun ada kesalahan di pihak wartawan mekanisme penyelesaiannya sudah jelas dibuat dalam Undang-Unang Pers, di mana individu maupun masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa dapat menggunakan hak jawab. Hak jawab itu diatur dalam UU Pers dan wajib dimuat secepatnya. Jika diabaikan maka pengelola media tersebut bisa dikenakan sanksi denda maksimal Rp500 juta jika kasusnya berlanjut ke pengadilan.

Kiranya, keberadaan UU Pers No 40 tahun 1999 sepatutnya digunakan oleh semua pihak. Jika UU tersebut digunakan maka kebebasan pers di Indonesia akan semakin berkembang. Namun jika main hakim sendiri dijalankan oleh individu maupun kelompok maka kebebasan pers di Indonesia akan redup, kontrol sosial tidak lagi berjalan, dan masyarakatlah yang akan dirugikan karena pada hakikatnya kebebasan pers itu adalah miliknya rakyat.

Dalam kaitan mencegah terjadinya kekerasan terhadap wartawan ini sudah sepatutnya organisasi pers menjalin kemitraan dengan pihak-pihak terkait. Kita di Sumut merasa sangat senang dengan sikap Kapoldasu saat ini telah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk menerapkan UU Pers No 40/99 dalam setiap kasus yang berkaitan dengan wartawan. Selama ini, aparat penyidik termasuk jaksa dan hakim masih menggunakan hukum positif (KUH Pidana) dalam menindaklanjuti kasus pemberitaan di media massa sehingga ada wartawan yang dikenakan hukuman penjara. Padahal, karya jurnalistik dalam UU Pers No 40 tidak dikenakan hukuman badan, tetapi sanksi denda.

AJI mencatat, berbagai tekanan kepada insan pers dan media Indonesia itu berupa ancaman (delapan kasus), pelecehan (empat kasus), penculikan (satu kasus), pengusiran (delapan kasus), penjara (satu kasus), sensor (tiga kasus), serangan (21 kasus), serta tuntutan hukum (tujuh kasus). Di negara-negara lain jumlah yang tewas demikian besar, begitu pula yang mendekam dalam penjara mencapai ratusan wartawan.
Sumber: http://www.beritasore.com

Teori yang mendukung:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
kode etik jurnalistik;
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
BAB III
WARTAWAN
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hokum

Sumber :

http://ivantoebi.wordpress.com/2008/12/19/pers-era-reformasi/
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.l-escargot.nl/imag

analisis :
Menurut saya,Perlindungan terhadap wartawan hendaknya mendapat perhatian serius. Semua pihak hendaknya mengupayakannya, dimulai dari wartawannya, media tempat wartawan itu bekerja, maupun masyarakat harus ikut mencegah terjadinya kekerasan terhadap pers. Tak pelak lagi, pemerintah perlu peduli, diikuti pihak-pihak lainnya, bersama kita memerangi kekerasan terhadap pers sekaligus menjaga agar kebebasan pers tetap terjaga. Bangsa yang besar dan maju biasanya sejalan dengan perkembangan persnya yang semakin bebas dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi.

marisifa..